Lelaki itu terlihat masih sangat muda, umurnya sekitar 17-18 tahun. Berkulit putih pucat, rambutnya sedikit ikal, berwarna hitam kecokelatan. Memakai celana jeans, kaos biru bergaris-garis putih dan kacamata hitam. Senjata jenis M4 seri terbaru yang dilengkapi dengan laser berada pada posisi on, disandang di depan dada. Sambil berjalan mondar-mandir, mulutnya sibuk mengunyah permen karet. Entah apa yang sedang diawasi karena pandangan matanya terhalang kacamata hitam.
Tak jauh dari lelaki itu, seorang perempuan bertubuh gemuk, umurnya sekitar 30 tahunan, rambutnya keriting sebahu berwarna merah, terlihat berteriak-teriak marah. Di jarinya terselip sebatang rokok, menunjuk kesana-kemari. Dihardiknya seorang wanita tua yang tampak repot dengan troley-nya yang sarat muatan. Beberapa kali terlihat tumpukan barang di atas troley berjatuhan. Itu rupanya yang membuat antrean tersendat, dan membuat perempuan berambut merah itu marah. “Allahu Akbar,” desah wanita tua itu perlahan.
Dada mulai berdegup keras menyaksikan pemandangan itu. Padahal tadi rasanya biasa saja saat melintasi daerah demiliterisasi sepanjang 4 km dengan empat pintu gerbang yang dijaga tentara bersenjata lengkap. Ada rasa marah, sedih, kesal, menyaksikan bagaimana wanita tua dan banyak orang lagi diperlakukan dengan kasar di tempat itu. “Your bag?” suara itu menyadarkan saya. Seorang pria berumur 20 tahunan, memakai kippa, bertanya sambil melihat paspor saya. “With my husband,” jawab saya tak acuh sambil menunjuk ke depan. Sekali lagi saya menoleh ke belakang dan melihat wanita tua itu sedang membungkuk, memastikan posisi jerigen zam-zamnya supaya tidak jatuh. “Ya, Allah, mudahkanlah dia, Allahumma yassir wala tu`assir [Ya Allah mudahkan urusannya dan jangan dipersulit],” pinta saya dalam hati.
Rombongan terus bergerak ke depan, kami melewati jalur yang berbeda dengan penduduk lokal sehingga lebih cepat. Ada tiga alat x-ray barang dan orang seperti yang sering terlihat di bandara untuk menindai semua yang masuk area ini. Saya teringat wanita dari Singapura yang duduk bersebelahan di Masjid Nabawi, Madinah, beberapa hari yang lalu. Ia bercerita kalau bersamaan dengannya ada 8 orang warga negara Malaysia yang tertolak masuk. Alasannya: mereka membawa Al-Qur’an! Itu juga yang membuat semalam saya berpikir keras di hotel, saya tidak pernah pergi menginap tanpa membawa Al-Qur’an, apalagi ini adalah perjalanan ibadah. Tapi mempertimbangan kondisi semua rombongan, saya akhirnya memutuskan untuk menandai Al-Qur’an digital yang ada di iPad, sampai surat mana yang telah saya baca. Jadi selama di sini saya akan mengaji menggunakan iPad.
Ruangan setelah x-ray tidak begitu besar, sekilas terlihat seperti ruang kargo bandara. Hanya ada beberapa deret kursi untuk duduk. Di sebelah kanan ada toilet. Toiletnya lumayan bersih, tidak ada air, hanya tersedia tisue. Seorang wanita berumur 30 tahunan berteriak dari balik ruangan kaca meminta rombongan mendekat. Lambang mendekat dan mejelaskan kalau kita berombongan dan sedang menunggu yang lain. Ia mengajukan beberapa pertanyaan sederhana, seperti mau apa? Berapa lama? Kemana saja? Berapa orang? Tak lama saat duduk menunggu, ia keluar dari bilik kacanya dan menghampiri rombongan, “You want stamp on your pasport?” “No,” cepat saya menjawab. “All, no?” lanjutnya. “Yes,” tukas saya cepat.
Setelah semua rombongan terkumpul, kami diminta untuk mengantre di loket 5 dan 6. Mereka telah menyiapkan selembar kertas kecil, sebesar tiket parkir, kertas inilah yang dicap oleh mereka. Saya tersenyum kecut. Teringat cerita tentang larangan bagi Bani Israel untuk bekerja di hari Sabtu, mereka lalu memasang jala di hari Jum’at dan memanen ikannya di hari Ahad. Bahkan Allah pun coba mereka akali! Ini juga, banyak negara yang tidak punya hubungan diplomatik dengan mereka sehingga paspornya tidak bisa dicap dengan stempel imigrasinya, tapi tak kurang akal, karena mereka mau mengumpulkan pajaknya, jadilah dibuat kertas kecil itu sebagai penggantinya!
Kertas kecil berstempel imigrasi itu lalu diambil petugas di pintu keluar. Hati saya berdebar tidak karuan. Tak sabar ingin segera berlari keluar. Saya pejamkan mata begitu menginjakkan kaki di atas aspal. Saya hirup udara dingin ini dalam-dalam. “Ya Rabb, Alhamdulillah...Alhamdulillah, akhirnya saya bisa menginjakkan kaki dan menghirup udara Palestine. Negeri yang telah saya rindukan sejak umur empat tahun.” Setelah berulang-ulang mengucap syukur, saya berbisik, “Pi, akhirnya saya bisa sampai di sini. Saya akan melihat bentengnya Salahudin Al Ayyubi. Saya akan mendengar kumandang adzan dari Masjidil Aqsa.” Sudut mata saya terasa basah. Hati saya apalagi. Tiba-tiba saya merasa ada tetes air di tangan, lalu di kepala, saya menengadah. Gerimis. “Ya Allah, bahkan bumi Palestine pun ikut menangis merasakan kebahagiaan ini. Alhamdulillah, Ya Rabb.”
Seorang teman dalam rombongan masih tertahan di border Jordania. Karena passportnya baru, ia harus mengajukan clearence lagi. Untuk bisa sampai ke Palestine, kita melewati daerah-daerah yang diduduki Israel, kepastian untuk bisa masuk atau tidak diberikan tiga hari sebelum rencana tanggal masuk. Ada 3 departemen yang harus memberikan izin; imigrasi, dalam negeri dan intelejen. Rupanya passport baru teman ini belum mendapat clearence dari departemen intelejennya. Jadilah kita semua harus menunggu di bus yang terparkir di border sisi Palestine yang diduduki Israel, dan teman itu menunggu di border sisi Jordania, menunggu izinnya didapat.
Tapi saya sangat menikmati masa menunggu ini. Dada saya rasanya dipenuhi perasaan gembira yang luar biasa. Sejak umur 2-3 tahun, Papi sering sekali mengisahkan kepahlawanan Salahudin Al Ayyubi dalam membebaskan kota Yerussahlaim sebagai dongeng pengantar tidur untuk saya dan adik-adik. Saya sudah hapal betul ceritanya. Sejak saat itu saya selalu punya mimpi untuk bisa sholat di Masjidil Aqsa, berada di tempat Rasulullah mi’raj untuk menerima perintah sholat dan melihat benteng kota ini. Saya sudah punya imajinasi sendiri bagaimana bentuk benteng itu sejak saya belum bisa membaca dengan lancar. Dan, sungguh Allah Maha Medengar, hari ini saya berada di tempat yang saya rindukan itu.
Uttiek Herlambang
King Hussein Bridge, Palestine, 2012
Assalamualaikum Wr Wb
BalasHapusSaya sangat terkesan dengan tulisan mba Uttiek, hati saya tersentuh jika mendengar kata "Palestine" dan sampai saat ini palestine selalu hanya bayangan mimpi saja dihati saya. Allahu Akbar... Semoga saya mendapat kesempatan yang sama untuk dapat shalat di masjid Aqsa dan bercengkarama dengan penduduk palestine yang diberkahi Allah SWT.
terima kasih sharingnya mba.
Wassalam
Hadi CG
Wa'alaikum salam Mas Hadi,
HapusBiidznillah, dengan izin Allah bisa sampai ke Palestine dan mendengar kumandang adzan dari Masjidil Aqsa yang sangat indah. InsyaAllah
Salam,
Uttiek