Sabtu, 21 April 2012

Selembar Syal Dan Senyum Jamal

"This is my card. If there is anything I can help, just send me an email." 
"Thank you, Sister," jawab Jamal sambil tersenyum.
Ini senyum Jamal yang kedua yang pernah saya lihat selama di sini, meski tidak secerah senyum pertamanya.

Namanya Rezeq Salfity Jamal,  kita memanggilnya Jamal, profesinya sebagai  local guide di Palestine mengantarkan saya bertemu dengannya. Sejak pertama melihatnya saya merasa ia selalu terlihat gelisah dan gugup (baca tulisan: Mereka Rampas Tanah dan Pohon Jeruk Kami). Setelah beberapa hari melakukan perjalanan bersama, tahulah saya kenapa.

---------  

"Look the right side, Brother and Sister," seru Jamal dalam perjalanan menuju Masjid Ibrahimi Al Khalil (Hebron). Saya selalu merasa senang mendengar sapaan brother and sister saat berada di luar negeri. Sapaan itu biasanya saya dengar ketika masuk ke masjid. Menunjukkan  ukuwah dan indahnya persaudaraan dalam Islam. Saya menoleh ke kanan, terlihat bangunan yang cukup besar, tadinya saya pikir itu sekolah. Ternyata dugaan saya salah. Dari penjelasan Jamal, bangunan itu adalah Museum Rockefeller. Setelah perang 1967, bangunan itu digunakan sebagai penjara. Banyak pemuda Palestine yang ditangkap dan dipenjara di sana tanpa melalui proses pengadilan. Tak semua bisa keluar selamat, perlakuan yang kejam membuat  banyak dari mereka yang syahid membela tanah airnya, termasuk ayah Jamal!

Sepanjang perjalanan Jamal menceritakan bagaimana kondisi kehidupan di Palestine. Sekalipun itu tanah air mereka, tapi mereka hanya mempunyai semacam izin tinggal yang harus diperbaharui setiap tiga tahun. Kalau selama tiga tahun itu mereka meninggalkan Palestine, misalnya untuk sekolah atau berobat ke luar negeri, maka izin tinggalnya itu akan hilang. Kalau akan melakukan perjalanan ke luar negeri, seperti haji atau umroh, mereka menggunakan paspor sementara Jordan.

Bangsa Palestine yang pada dasarnya cerdas-cerdas juga dipersulit untuk mendapat pendidikan. Mereka yang bisa sekolah sampai S2 atau S3, tidak mendapat akses untuk bekerja secara layak. Kondisi ini sengaja diciptakan Israel supaya akhirnya mereka memilih bekerja di luar negeri. Setelah itu dengan gampang izin tinggalnya dicabut.  Orang-orang Palestine yang terdidik lama-lama akan habis dan tujuan Israel melakukan pembodohan dan pemiskinan bisa berjalan. Sebagai perbandingan untuk pekerjaan yang sama, saudara-saudara Palestine kita hanya mendapat upah 10-25 Dollar/hari, sementara yahudi Israel akan mendapat 80 Dollar/hari. Kondisilah yang memaksa mereka menerima perlakuan tidak adil itu.

Mereka yang berusaha berdagang pun dihambat dengan segala cara. Mulai perizinan yang sulit, pajak yang tinggi, hingga distribusi yang tidak lancar. Akhirnya barang-barang dari Palestine, sekalipun kualitasnya lebih istimewa, menjadi tidak kompetitif di pasaran. Saya teringat upaya  Dompet Dhuafa  tahun 2009 yang merevitalisasi pabrik roti di Jabaliyah. Pabrik ini mampu memproduksi 10 ribu roti perhari. Terbayang berapa banyak orang yang mendapat kesempatan kerja. Tahun berikutnya dibangun 2 instalasi sumber air bersih di daerah Khanyunis dan perairan bagi 300 hektar perkebunan sayur dan buah-buahan untuk saudara-saudara di Gaza. Bantuan seperti ini sangat efektif karena bisa menggerakkan perekonomian Palestine, baik yang di Tepi Barat maupun di Gaza.

Dengan segala kekejian yang dilakukan Israel, saya jadi emosional, "Kenapa kamu tidak berperang saja seperti saudara-saudara kita di Gaza?" tanya saya ke Jamal. Panjang alasan yang dikemukakan Jamal, salah satunya mereka tidak punya senjata seperti saudara-saudara di Gaza. Marah, kesal, gemas, rasanya campur aduk. Ah, tapi saya yakin mengapa Allah memilih Bangsa Palestine untuk berada di tanah suci ketiga ini, pasti karena mereka adalah orang-orang yang kuat dan amanah. Perjuangan tidak pernah sebentar. Perang Tabuk yang dipimpin Rasulullah SAW sesungguhnya adalah pembuka jalan menuju tanah Palestine, dilanjutkan Abu Bakar dan baru berhasil pada masa Khalifah Umar bin Khatab. Begitu pula perjuangan Imadudin, Nurudin dan baru berhasil pada masa Salahuddin Al Ayyubi.

Setelah percakapan itu saya baru mengerti mengapa Jamal selalu terlihat gelisah dan gugup. Ia generasi yang lahir ketika negerinya sudah dicengkeram penjajah yang dzalim, ayahnya syahid di penjara, setiap hari ia harus menyaksikan kekejian demi kekejian dan diperlakukan tidak adil. Saya sangat miris mendengar cerita, sehari ia bisa melepas ikat pinggangnya sampai sepuluh kali karena melewati check point Israel. Ya Allah, mudahkanlah saudara saya ini.

------

Setelah sholat Dzuhur-Ashar di Masjidil Aqsa, Jamal mengajak kita menyusuri Old City. Menyenangkan sekali menghabiskan senja di sini. Melewati Al Wad Rd di Quarter Muslim,  keluar masuk labirin di Souk Al Dabbagha (souk dalam Bahasa Arab artinya pasar),  rasanya seperti terlempar ke masa silam. Saya bisa mencium bau harum aneka roti yang baru keluar dari oven, pedagang rempah-rempah yang membuat bentuk Kubah Al Sakrah dari bubuk  rempah dagangannya, aneka karpet, buah, sayur, keriuhan orang menawar, pria-pria berkafayeh yang saling berjabat tangan dan mengucapkan salam. Indah. Subhanallah, indah sekali.

Jamal memenuhi janjinya mengantarkan saya ke toko souvenir yang menjual syal khas Palestine seperti yang sering dikenakan Khaled Mashaal,  Ismail Haniya, serta pemimpin Hamas lainnya. Mata saya berbinar begitu dari jauh melihat selembar kain bermotif kotak-kotak hitam putih dengan garis hijau di pinggirnya, di ujung ada tulisan huruf Arab, Al Quds Lana: Al Quds adalah milik kita. Ya, Al Quds adalah milik kita, hak kita! teriak saya dalam hati, sambil memilih 4 lembar syal seharga USD 3. Abu Muhammad, si pedagang, sangat ramah dan bersahabat seperti orang Palestine pada umumnya. Dia memasang fotonya bersama Alm. Yaser Arafat.  Saya kalap melihat gantungan kunci, pin, serta simbol-simbol Palestine lainnya. Bahkan saya tidak ingin menawar untuk apa pun yang saya beli. Sebagai bonus, saya meminta bendera Palestine kecil yang dipasang di meja kasir. "May I have it as a bonus," pinta saya, Abu Muhammad tersenyum sambil mengangguk.

Kalau saja saya tidak pergi bersama rombongan, tentu saya masih ingin belama-lama menyusuri pasar itu. Tiba-tiba Jamal menghentikan langkah di depan gerobak sayur. Ia membeli sekantung entah buah, entah sayur, yang bentuknya seperti kacang kapri tapi ini kulitnya tebal dan ada bulu halusnya. "What's that, Jamal?" tanya kami sambil berkerumun. Jamal mengambil satu lalu mengunyahnya. "Try, this," jawabnya sambil mengedarkan kantong itu. Dengan sedikit heran, saya ambil satu dan mulai mengunyah. Pahit. Sepat. Getar. Entah bagaimana mendefinisikannya. Untuk pertama kalinya, di Souk Al Dabbagha, sambil mengunyah entah apa ini, saya melihat Jamal tersenyum! Tertawa lebih tepatnya. Matanya berbinar cerah. Ia terus berjalan sambil mengunyah belanjaannya itu.

"Wah, kita dikerjain Jamal nih, apaan sih ini?" komentar mulai bermunculan. Ternyata bukan hanya saya yang merasakan makanan ini aneh. "Iya, nih, Jamal nih, awas aja kalau kita sakit perut," sahut yang lain. Jamal terus saja mengunyah sambil tersenyum. Ah, Jamal, mendengar ceritamu, penderitaan saudara-saudaramu, rasanya saya rela menghabiskan entah buah, entah sayur yang rasanya aneh ini, asal bisa menghiburmu, membuatmu tersenyum, batin saya. Tak jauh dari situ seorang teman berinisiatif membeli stoberi berwarna merah menyala yang terlihat sangat segar. Satu kotak plastik harganya 10 sekhel atau 3 USD. Semua langsung berebut mengambil satu untuk menghilangkan rasa sepat di mulut. Rasa stroberi ini sungguh manis dan segar. Saya menyesal kenapa tadi tidak ikut membeli. "Pasti penjual kacang yang aneh tadi belum pernah mencicipi dagangannya. Kalau sudah pernah, pasti dia memilih jualan stroberi," komentar Pak Hani. Saya terbahak-bahak mendengarnya.

Rombongan terus berjalan, sampai di sebuah gerbang. Damascus Gate. Saya membaca papan petunjuk yang ada di sebelah kanan. Ah, ini Damascus Gate, hati saya bersorak. Dari sini sang pahlawan Salahuddin Al Ayyubi memasuki kota yang berhasil dibebaskannya. Tiba-tiba saya merasa heroik. Berada di Damascus Gate sambil membawa kantong plastik berisi syal bermotif sama dengan Ismail Haniya dan bendera Palestine.


Uttiek Herlambang
Damaskus Gate, Al Quds (Yerusahlaim), Palestine, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar