Kamis, 19 April 2012

Darah Syuhada Mengalir Di Al Khalil

"Allahu Akbar..." takbir yang menandai sujud terakhir rekaat kedua baru berkumandang di subuh yang dingin. Jama'ah bersujud. Tiba-tiba terdengar desingan peluru yang memekakkan telinga, membabi-buta, menembaki siapa saja yang ada. Hari itu, Subuh, 15 Ramadhan 1414H bertepatan dengan 25 Februari 1994, darah  syuhada mengalir membasahi Masjid Ibrahimi Al Khalil (Hebron). 40 orang syahid, ratusan terluka. Seorang yahudi laknatullah bernama Baruch Kappel Goldstein datang dari arah Kiryat Arbaa, dengan perlindungan tentara, menenteng senjata, menjadi pembunuh di dalam masjid, saat jamaah sedang sujud, di bulan suci Ramadhan. Innalillahi wa innailaihi roji'un.

-------

Hari masih pagi, sebelum berangkat kita diingatkan lagi untuk tidak membawa benda- benda yang terbuat dari logam, senjata tajam, bahkan sekadar gunting kuku. Jamal juga memastikan paspor jangan sampai tertinggal. Saya mendesah perlahan, ini perjalanan ke masjid, tapi kita dikondisikan seperti ini. Bus berangkat sepagi mungkin, mengingat kota Al Khalil (Hebron) tidak selalu dibuka. Nama Al Khalil dalam Bahasa Arab berarti sahabatNya, diambil dari kata Ibrahim Al Khalil, karena ketaatan dan keikhlasannya, Ibrahim mendapat gelar Al Khalil: sahabat Allah. Perjalanan sejauh 30 km harus melewati beberapa check point. Untuk mempersingkat rute, beberapa kali bus harus keluar-masuk Israeli settlement atau pemukiman yahudi.  

"Your passports please," seru Jamal. Abu Ismail memperlambat laju bus yang dikendarainya, lalu berhenti. Seorang tentara berseragam militer, terlihat masih muda sekitar 25 tahunan, memakai kippa, dengan menenteng senjata di depan dada, melompat masuk ke dalam bus. Ia mengedarkan pandangannya, menyelidik, entah apa yang dicarinya. Saya kembali membuang muka. Tiap kali melihat orang-orang memakai kippa, ada sesuatu yang bergolak  di dalam dada. Jamal sempat mengatakan sesuatu, tapi sepertinya tidak digubris. Ia langsung melompat turun tanpa berkata- kata. Mereka selalu bersikap semena-mena tergantung mood: mau memeriksa secara acak, satu per satu atau tidak memeriksa sama sekali, seperti yang dilakukan tentara itu barusan.

Setelah sebelumnya hanya melihat dari jauh, untuk pertama kalinya saya melintas di dalam Israeli settlement. Rumah-rumah berderet rapi. Jalanan di dalam kompleks cukup lebar dengan taman di kiri-kanannya. Mobil-mobil keluaran terbaru berderet terparkir di pinggir jalan. Sesekali anak-anak muda memakai kippa berjalan melintas. Tentara terlihat di ujung-ujung perempatan. Lokasi settlement ini cukup luas, berkali-kali bus berbelok ke kiri dan ke kanan. Keluar dari settlement, pemandangan sungguh menyesakkan dada. Rumah-rumah tua, banyak yang terlihat kosong ditinggal penghuninya mengungsi, lingkungan yang kumuh, anak-anak memakai sweater lusuh bermain di pinggir jalan. Sudut mata saya terasa hangat.

Bus berhenti di mulut gang, jalanan di depan terlihat menanjak. Abu Ismail membuka pintu tanda kita harus turun di sini. Dua orang pria menyalami Jamal, sepertinya mereka saling mengenal. Saya sangat suka dengan persahabatan dan sikap hangat orang Palestine, mereka selalu terlihat berjabat tangan, saling mengucapkan salam, memberikan pelukan hangat dan cium pipi khas pria Arab, seperti yang diperlihatkan Jamal dan teman-temannya pagi itu

Di depan terlihat 3 x-ray yang dijaga tentara. Mereka dalam posisi siaga, ransel di sandang di punggung dengan senjata pada posisi on dan tatapan mata penuh curiga. Kita harus melewati penindai itu untuk masuk ke dalam masjid. Ini rupanya yang membuat Jamal  berulang-ulang mengingatkan supaya tidak membawa senjata tajam. Ah, bagaimana mungkin kami membawa senjata untuk menghadap Allah?

 "This way, Mam," seorang pria mununjukkan arah tempat wudhu perempuan. Ada tangga ke atas menuju tempat wudhu. Kran-kran berjejer di kiri-kanan, toilet terletak di belakang tembok kran. Seorang wanita memakai abaya hitam dan kerudung sederhana menyambut dengan senyumnya. Dengan sopan ia mengucapkan salam. Namanya Suha, ia bekerja sebagai petugas kebersihan di situ. Untuk ukuran penjaga toilet Bahasa Inggrisnya cukup bagus. Dari percakapan ringan, saya mendapat informasi kalau suaminya syahid berjuang mempertahankan tanah airnya, ia kini sendirian menghidupi ketiga anaknya. Sehari-hari ia tinggal di kamp pengungsi yang cukup jauh dari Masjid ini. Namun dari tutur katanya terlihat ketegaran dan keikhlasan. "Allah bersama kami, Allah bersama kami," katanya berulang-ulang.

Posisi Masjid Ibrahimi ada di atas, kita harus menaiki 20-an anak tangga. Di pintu masjid terlihat beberapa tentara berjaga. Terbersit pertanyaan, adakah tentara ini ada yang mendapat hidayah Allah karena setiap hari mendengar kumandang adzan? Semoga, karena Rahmat Allah diberikan pada siapa saja yang dikehendakiNya. Ruangan dalam masjid terlihat tua, dindingnya terlihat kusam dengan karpet yang tak lagi berwarna cerah, rak-rak untuk menyimpan sandal ada di kanan selasar.

Setelah sholat Tahiyatul masjid dan Dhuha, Jamal memulai penjelasannya. Awalnya di dalam kompleks masjid ini ada 6 makam; Nabi Ibrahim AS dan Sarah, Nabi Iskak dan Rifka istrinya, serta Nabi Ya' kub dan istrinya. Setelah peristiwa keji pembantaian subuh 1994 itu, dengan berbagai dalih Israel mengokupasi makam Nabi Ya'kub dan istrinya. Merampas separo bangunan masjid dan mendirikan sinagog di atasnya. Innalillahi wa innailaihi roji'un. Makam-makam itu sebenarnya ada di dalam gua di bawah masjid. Namun sekarang gua itu ditutup, tidak dapat dimasuki lagi karena sudah terlalu tua dan berbahaya. Dua buah pilar didirikan untuk menandai jalan masuk ke dalam gua, sebuah lubang kecil di lantai masjid bisa digunakan untuk melihat ke bawah. Saat ini ada 4 memorial, semacam peti batu yang sangat besar berselubung kain hijau, di dalam masjid untuk menandainya. Khusus untuk memorial Nabi Ibrahim dan Sarah diberi pagar berteralis besi.

Di samping tempat imam terdapat  mimbar Salahudin Al Ayyubi yang masih asli. Mimbar ini awalnya ada 2, yang satu diletakkan di Masjidil Aqsa, namun yang di Masjidil Aqsa sudah tidak ada lagi karena dibakar yahudi pada 21 Agustus 1969 yang akhirnya menyebabkan kebakaran di dalam masjid. Mimbar di Masjid Ibrahimi ini masih kokoh sekalipun sudah sangat tua. Di bagian atas terdapat lambang bulan sabit yang digunakan pasukan Salahudin Al Ayyubi saat membebaskan Al Quds (Yerusahlaim), lambang itu pula yang membuat gentar lawan-lawannya, dan ratusan tahun kemudian masih membuat saya bangga saat melihatnya.

Di sinilah sejarah itu bermula. Nabi Ibrahim SA sang pembawa agama yang hanif menetap setelah meninggalkan Irak utara tanah kelahirannya. Di sini pula ia berdakwah mengajak umatnya men-Tauhid kan Allah. Lahir Nabi Iskak, lalu Nabi Ya'kub. Israel mengklaim lebih berhak atas tempat ini karena mereka adalah anak turun Ya'kub. Klaim itu jelas tidak mendasar. Bagaimana mungkin seorang nabi yang mulia menurunkan manusia-manusia dzalim seperti mereka, batin saya. Kekhawatiran menyusup di hati, jangan- jangan upaya sistematis yang mereka lakukan saat merampas Masjid Ibrahimi di Al Khalil (Hebron) akan mereka lakukan juga di Masjidil Aqsa.

Ya Rabb, sungguh Engkau yang akan menjaga dan melindungi masjid ini, tempat dimana Ibrahim Al Khalil  dibaringkan bersama keluarganya. Saat melintas gerbang masjid untuk pulang, sekali lagi saya menoleh ke belakang, tercium bau harum, harum darah para syuhada.


Note: Goldsteinism, merujuk pada Baruch Kappel Goldstein si pelaku teror, saat ini digunakan sebagai kosakata untuk mengungkapkan sikap kebencian dan anti Palestine.


Uttiek Herlambang
Al Khalil (Hebron), Palestine, 2012

1 komentar:

  1. Kalau tidak salah mimbar pengganti itu dirancang orang Indonesia.. Arham Raysid dari Kendari pernah ke sana dan menulis di fb nya.

    BalasHapus