Journey to
Uighur-Xinjiang #8
Id Kah Mosque atau Eidgar Mosque. Masjid Agung kota Kahsgar. Di sini saya diminta melepas hijab kalau ingin masuk ke dalam masjid.
“I am separated from
my husband,” kata saya sambil menunjukkan bording pass dan sedikit panik
melihat antrean penumpang mulai bergerak masuk ke dalam pesawat. Berharap
petugas di boarding gate itu bisa berbahasa Inggris.
Ia sepertinya paham,
lalu memberi isyarat meminta saya menunggu di depan meja boarding. Dihubunginya
seseorang melalui penyeranta komunikasi yang digenggamnya. Jangan bayangkan
berkomunikasi di bandara international ini seperti bandara international
lainnya. Nyaris tak ada yang bisa berbahasa Inggris di sini. Sejak pemeriksaan
tadi, saya sudah kesulitan gegara persoalan bahasa ini.
Sekali lagi saya
edarkan pandangan, berharap Lambang muncul di antara lalu-lalang orang di ruang
tunggu Ürümqi Diwopu International Airport.
Pagi ini kita harus
terbang dari kota Urumqi ke kota Kashgar menggunakan penerbangan domestik
selama kurang lebih 2 jam.
Kashgar atau Kashi
dalam bahasa Mandarin adalah kota paling ujung barat China yang berbatasan
langsung dengan negara Kirgizstan dan Tajikistan. Kota kuno ini memiliki jejak
sejarah yang berlimpah karena merupakan gerbang Jalur Sutra dari Persia dan
Asia Tengah.
Saya terpisah dengan
Lambang karena pemeriksaan yang sangat ribet di bandara Urumqi. Di awali dengan
pertanyaan, “What’s your religion?” di meja pemeriksaan passport yang membuat
saya bengong sejenak.
Ini adalah kali
pertama di bandara international saya ditanya tentang agama. “Apa hubungannya
dengan perjalanan ini?” batin saya kesal. Ya, sedikitnya saya mulai jengkel
karena sejak awal kedatangan, kerudung yang saya kenakan selalu dipermasalahkan
oleh petugas.
“I’m muslim.
Alhamdulillah. I’m covering my head with scarf,” jawab saya mengulang kata-kata
yang sama setiap ditanya pertanyaan yang sama. Ia hanya melihat sekilas, lalu
dengan isyarat meminta saya melepasnya. Yang langsung saya jawab dengan
gelengan kepala, “No,” kata saya tegas.
Dengan muka tetap
dingin, ia memberi isyarat sekali lagi. Kali ini saya tarik sedikit kerudung ke
belakang. Sekadar memastikan kalau alis saya tidak tertutupi. Karena hanya itu
syarat saat pembuatan foto visa. Kerudung tetap boleh dikenakan, tapi alis
kelihatan semua dan tanpa senyum.
Alhamdulillah, lolos.
Petugas bermuka dingin itu lalu men-scan passport dan memotret saya. Berikutnya
saya harus melewati pemindai orang dan barang. Sekali lagi petugas di pemindai
memberi isyarat untuk melepas kerudung.
Karena menolak ia
langsung meminta passport saya, “Passport,” katanya sambil memanggil seorang
petugas lain. Petugas yang membawa passport itu lalu meminta saya mengikutinya.
Saya harus masuk ke
ruangan kecil yang tertutup. Ada alat penindai orang yang bentuknya seperti
alat untuk rontgen torax di RS. Bagian bawah ada pijakan yang bisa bergeser ke
kiri-kanan. Saya diminta naik ke atas pijakan itu. Pelan-pelan alat itu
bergeser ke kiri-kanan dua kali.
Lalu petugas itu
berseru dalam bahasa China yang tidak saya mengerti. Saya melongok ke celah
kecil yang ada di depan, “Finish?” Tanya saya yang dijawab dengan sodoran
passport.
Nantinya, di setiap
bandara saya harus masuk ke ruangan pemindai khusus itu. Jadilah pemeriksaan
saya lebih lama, karena terkadang alat pemindainya juga harus antre. Itu yang
menyebabkan saya terpisah dari Lambang.
“Allahumma yassir wala
tu'assir,” saya deraskan doa dalam hati, supaya Allah mudahkan semua. Bukan
apa-apa, jadwal perjalanan ini sangat ketat, kalau sampai ketinggalan pesawat,
pasti akan berantakan semua.
Tiba-tiba dari jauh saya melihat langkah Lambang yang sudah sangat saya kenal. Saya berteriak
memanggilnya. Berlarian kita masuk dalam antrean boarding, tak lupa saya
memberitahu petugas di boarding desk itu, “That’s him, over there. My husband,”
seru saya sambil menunjuk Lambang.
“Dari mana saja?”
Tanya saya. Rupanya Lambang mencari saya karena tidak melihat lagi setelah saya
mengikuti petugas yang membawa passport tadi. Kita bersepakat, nanti kalau
terpisah lagi di bandara, karena pasti pemeriksaan saya lebih ribet, titik
temunya adalah di boarding desk. Tidak perlu saling mencari kesana-kemari.
Siapa yang selesai lebih dulu menunggu di situ.
Sampai di Kashi
Airport, lagi-lagi saya disambut dengan pertanyaan, “What’s your religion?”
oleh petugas yang memeriksa passport.
Tadinya saya pikir
baru akan kena masalah gegara kerudung di Amerika atau di negara mana. Ternyata
di Xinjiang, wilayah yang penduduknya 80% muslim, justru kerudung saya
bolak-balik dipermasalahkan.
Saya pernah berada di
Eropa dua hari setelah kejadian penembakan di kantor redaksi Charlie Hebdo.
Saat itu sentimen anti Islam sedang tinggi-tingginya di Eropa. Namun, kerudung
saya tidak dipermasalahkan. Di Madrid-Barajas Adolfo Suárez Airport
pemeriksaannya wajar saja seperti di bandara pada umumnya.
“Apa yang mereka cari
dari balik kerudung saya?” batin saya tak habis pikir dengan para petugas
bandara ini. Atau sekadar prejudice karena kerudung yang saya kenakan adalah
adalah simbol Islam? Entahlah!
Di pintu keluar
bandara, seorang pria berbadan tinggi tegap terlihat menunggu sambil membawa
kertas berlogo Khalifah Tour dan nama kita. Segera saya dan Lambang
menghampirinya. Untuk alasan keamanan, saya menyebutnya Mr Kashimir.
Mr Kashimir ini
seorang pria Uighur berumur awal 30-an yang akan menjadi local guide selama di
Kashgar. Sesuai postur tubuhnya, suaranya juga terdengar “menggelegar”. Ia
sudah delapan tahun menjadi local guide dan seringkali menjadi mountain guide
ke Everest maupun tracking di perlintasan gurun-gurun yang ada di Kashgar ini.
“What’s that?
Accident?” Tanya saya melihat mobil-mobil berhenti di tengah jalan.
“No Ma’am. That’s
check poin,” jawabnya singkat sambil menegaskan tidak boleh memotret di check
poin, polisi maupun tentara yang sedang bertugas.
Sekalipun sudah
beberapa hari di Xinjiang dan “terbiasa” dengan banyaknya check poin, tak urung
yang di kota Kashgar ini masih mengejutkan saya. Bagaimana tidak, check poin
itu digelar di tengah jalan. Mobil-mobil berderet parkir di tengah jalan, lalu
orang-orang nampak berbaris mengantre diperiksa. Saya jadi teringat adegan di
film-film berlatar perang dunia, yang juga menampilkan adegan seperti ini.
Saat saya berada di
Kashgar rupanya bebarengan dengan kedatangan beberapa lembaga internasional
yang akan melakukan investigasi keberadaan kamp-kamp reedukasi. Jadilah suasana
di kota ini sensitif sekali.
Setelah beres urusan
check-in hotel, menaruh koper, dan shalat di-jama’ Dzuhur-Ashar, kita segera
menuju restoran untuk makan siang. Di tengah makan, saya dikejutkan dengan
pertanyaan Mr Kashimir, “If they ask you to take off your scarf, are you
willing to do it?” yang spontan langsung saya jawab dengan tegas, “No,” sambil
menggelengkan kepala.
Raut wajah Mr.
Kashimir langsung berubah. Suasana menjadi tidak nyaman. “Is it randomly?”
Tanya Lambang yang justru memperkeruh suasana.
“I am not comfortable
with that question,” jawabnya menutup pembicaraan.
“What are the
consequences if I disobey?” kejar saya
“You are not allowed
to enter …,”
“It’s okay,” potong
saya cepat.
Sudahlah, kalaupun
saya tidak bisa masuk ke destinasi yang dituju, toh Lambang tetap bisa masuk.
Saya akan tunggu di luar saja. Saya masih coba berargumen kalau saya adalah
warga negara asing, pemegang passport Indonesia, sehingga tidak seharusnya saya
mengikuti regulasi untuk warga lokal. Namun sepertinya Mr Kashimir tidak ingin
membahasnya lagi.
Benar saja. Di depan
Id Kah Mosque atau Eidgar Mosque yang merupakan masjid agung kota Kashgar,
polisi tidak mengizinkan saya masuk kecuali saya melepaskan hijab.
Innalillahi wa
innailaihi rojiun….
Ini di rumah Allah,
tapi peraturan mengharuskan membuka aurat. Hati saya menangis pilu. Kemana
perginya para mujahid yang harusnya membela tanah Uighur ini?
“No,” saya tatap
polisi itu dan menjawab dengan suara mantap. Saya ingin Allah menyaksikan
keteguhan hati saya.
“Kamu foto
sebanyak-banyaknya deh di dalam. Bikin video juga, biar aku bisa dapat gambaran
untuk tulisan nanti,” pesan saya pada Lambang.
“Can I wait here? It's
cold out there,” tawar saya minta diterjemahkan Mr. Kashimir ke petugas yang
berjaga.
Tanpa merubah ekspresi
muka petugas itu hanya menunjuk pintu gerbang. Pertanda saya harus menunggu di
lapangan luar. Semoga ini yang terakhir kali, seorang muslim diusir petugas
saat akan memasuki masjid.
Saya anggukkan kepala,
“Enggak apa-apa. Aku tunggu di luar. Kamu harus masuk. Lihat di dalam ada apa?”
tegas saya, setelah sesaat Lambang mulai ragu.
Mr. Kashimir terlihat
sangat tidak enak hati. Ia mengantarkan saya sampai ke gerbang dan menunjuk
salah satu bangunan tak jauh dari situ.
“You want to go to
toilet? There’s toilet and the place is warmer,” katanya seperti memohon maaf.
“Saya mau ke masjid,
bukan ke toilet,” jawab saya dalam hati. “No. It’s okay. I will wait here,”
kata saya meyakinkan.
Id Kah Mosque
didirikan pada 862 H/1442 dan telah mengalami renovasi beberapa kali. Daya
tampung masjid berikut lapangannya sekitar 200.000 jamaah. Dahulunya selain
sebagai masjid, juga terdapat bangunan yang difungsikan sebagai madrasah di
dalamnya.
Rupanya di dalam
masjid pun Lambang tidak bisa melakukan apa-apa, karena di dalam masjid dijaga
polisi dan tidak diperbolehkan untuk shalat.
Id Kah Square, sore itu bersuhu (minus) -12°C. Patung karavan unta banyak menghiasi kota yang pernah menjadi gerbang Jalur Sutra dari Asia Tengah dan Persia ini.
Di pinggir Id Kah
Square yang sore itu suhunya (minus) -12°C, saya menatap anak-anak kecil yang
bermain dan berlarian mengejar burung merpati. Merpati putih adalah simbol
perdamaian, yang ironisnya setiap hari harus menyaksikan umat Islam terusir
dari masjidnya.
“Nak, suatu hari nanti, kamu harus berjuang membebaskan negerimu dari penguasa lalim ini."
“Nak, suatu hari
nanti, kamu harus berjuang membebaskan negerimu dari penguasa lalim ini,” bisik
saya yang semoga terbawa angin dan sampai ke telinga anak-anak itu.
Doa seorang
musyafir ijabah. Semoga penduduk langit aminkan doa saya sore ini.
Kashgar, 5/1/2019
Uttiek
Follow me on IG
@uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti | www.uttiek.blogspot.com