Senin, 16 November 2020

 MENULIS KISAH MENEBAR HIKMAH



Nyala lentera itu meredup tertiup angin malam. Sebentar, lalu menyala terang. Kedip-kedipnya sama sekali tak mengganggu jari-jemari yang sibuk menggoreskan pena ke atas kertas.
Begitu terus sepanjang malam, selama bertahun-tahun lamanya. Hingga selesailah kitab fenomenal “Tarikh Madinah Dimasqy”.
Sang penulis adalah Abu al-Qasim Ali bin al-Hasan bin Hibatullah bin Abdullah bin al-Husein al-Dimasyqi atau yang dikenal dengan Imam Ibnu Asakir, seorang ulama ahli hadis sekaligus sejarawan. Ia lahir di kota Damaskus pada tahun 499 H/1105 M.
Mengapa kitab itu fenomenal? Karena ditulis di tengah kecamuk Perang Salib. Ada yang meriwayatkan, di siang hari Imam Ibnu Asakir ikut berjihad dan di malam hari menulis kitab. Namun ada juga yang menyebutkan, ia hanya “mendampingi” Nuruddin Zanki yang memimpin pertempuran.
Apapun itu, menulis kitab di tengah kecamuk perang bukanlah hal mudah. Apalagi kitab yang berisi tentang sejarah kota Damaskus, negeri Syam, dan semua keutamannya itu ditulis sebanyak 80 jilid!
Begitu istimewanya Imam Ibnu Asakir, hingga saat wafat, Sang Pahlawan Shalahuddin Al Ayyubi yang merupakan salah satu muridnya, ikut mengurus jenazahnya.
Ketekunan para alim terdahulu dalam menulis kitab tak disangsikan lagi. Kalau di tengah kecamuk perang masih bisa menghasilkan karya yang luar biasa, apalagi dalam situasi normal.
Seperti Muḥammad Abu 'l-Farash al-Jawzī atau yang lebih dikenal Imam Al Jawzi. Konon setiap hari ia menulis tak kurang 40 lembar naskah, dan itu dilakukan konsisten sepanjang hayatnya.
Kitab pertamanya ditulis di usia 13 tahun. Disebutkan kalau rautan pena yang digunakan untuk menulis bisa digunakan untuk menyalakan perapian selama bertahun-tahun, saking banyaknya.
Tak hanya para ilmuwan yang produktif menulis kitab. Masyarakat pun haus akan ilmu. Ini ditandai dengan tingginya permintaan salinan kitab. Seperti diketahui, sebelum ditemukan mesin cetak, kitab-kitab itu disalin secara manual.
Tak tanggung-tanggung, ada yang menghargai berat salinan kitab itu dengan emas. Semisal kitab itu beratnya 1 kg, maka akan ditukar dengan emas seberat 1 kg.
Allahu akbar!
Tradisi literasi sangat lekat dengan para cendekiawan Muslim terdahulu. Memudarnya kebiasaan itu menjadi salah satu penanda mundurnya peradaban Islam.




Sebuah kehormatan bagi saya ketika dihubungi Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah, Mesir, untuk menjadi bagian dalam rangkaian Milad Muhammadiyah ke 108 sekaligus Milad Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah, Mesir, ke 18.
Sahabat, mari kita menapaktilasi jejak tradisi literasi melalui webinar “Menulis Kisah Menebar Hikmah”.
Hari/tanggal: Sabtu, 21 November 2020
Jam : 10.00 Clt (waktu Kairo) /15.00 WIB
Via Zoom (link zoom hanya dibagikan untuk peserta yang sudah mendaftar)
Pendaftaran ditutup: Kamis,19 November-2020
Kontak person pendaftaran: Hanifah wa.me/+201552472030
Barangkali kalau menulis sekadar menulis, semua bisa melakukannya. Namun menulis dengan hikmah haruslah dipelajari. Mari kita bersua, saya akan membagikan ilmunya. InsyaAllah.
Jakarta, 16/11/2020
Uttiek
Follow me on IG @uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti | www.uttiek.blogspot.com | channel Youtube: uttiek.herlambang

3 komentar:

  1. Masya Allah, ya benar, seseorang yang tau apa yang diperjuangkannya tidak akan pernah kehilangan gagasan (ide), ia terus menulis dan menulis... La hawla wa la quwwata illa billah

    BalasHapus
  2. Oh iya mba boleh tau buku referensi untuk membaca kisah2 ulama terutama pada periode perang salib itu seperti ibnu asakir bisa dibaca dimana? syukron

    BalasHapus
  3. Mashallah,, senang sekali baca ibu Uttiek ini. Pengen belajar banyak darinya. Ada akunnya yg bisa di follow
    .. barakallah, bu. Love lillah

    BalasHapus